Dampak Negatif Perkawinan Sesama Jenis

Saya akan memulai dari mana jadi bingung nie.. hehe.. oh iya, saya akan memulai dari gaya hidup zaman sekarang yang ternyata semakin saya perhatikan (cieee lahh.. padahal saya tidak terlalu paham,..) tapi disini saya akan menulis berdasarkan pandangan saya kalau misalkan pembaca atau para penghuni dunia maya ini tidak setuju mohon untuk dikomment saja karena saya bukan manusia sempurna pasti punya salah juga hehe.. ya sekedar tukar pikiran lah hehe.. :D

Pada kesempatan ini saya akan membahas masalah gaya hidup yang mengenai perasaan atau menyukai sesama jenis.. tapi disini saya akan mencoba untuk membahas dampak negatif dari gaya hidup ini yang menurut saya sudah kembali lagi ke zaman dahulu kala.

Dampak Negatif Homoseksual


Menurut Pandangan Agama

1. Agama Islam

Kalau kita telaah sejarah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah muncul jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada masa Nabi Luth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut ketika menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth.


Perilaku homoseksual disebut diantaranya dalam Q.S. al-A’raf/7 : 30-34; dan Q.S. Hud/11 : 77-82, satu rangkaian dengan kisah Nabi Luth dan umatnya. Umat Nabi Luth adalah sekelompok manusia yang mempraktikan homoseksual dalam kehidupan sehari-hari. Dari fenomena itu, lantas Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan kepada umatnya atas perilaku mereka yang terkutuk tersebut, walaupun pada akhirrnya umat Nabi Luth diadzab oleh Allah karena keengganan mereka menerima peringatan Nabi Luth. Kisah itu (Q.S. al-A’raf/7 : 30-34) tertuang sebagai berikut:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ () إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ () وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ () فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ () وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ()

Kemudian dalam Q.S. Hud/11 : 77-82, tertulis:

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ () وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلا تُخْزُونِي فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ () قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ () قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ () قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ () فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُود ()ٍ
Apa yang dilakukan oleh umat Nabi Luth itu, dalam perspektif Islam yang hanif, bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang menyatakan bahwa masing-masing manusia akan mendapatkan jodoh (pasangan)nya yang berbeda jenis. Ayat-ayat berikut ini menyatakan ketentuan Allah (Sunnatullah) itu bahwa manusia diciptakan-Nya bersama pasangannya:
Q.S. an-Nisa’/4 : 1:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Kemudian dalam Q.S. ar-Rum/30 : 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Juga dalam Q.S. Fathir/35 : 11 :

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجًا وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلا تَضَعُ إِلا بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Pasangan (zauj, azwaj) yang dimaksud adalah lawan jenis, dalam arti laki-laki pasangannya adalah perempuan, begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini dinyatakan Allah dalam Q.S. an-Najm/53 : 45 :

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى

Juga dinyataka-Nya dalam Q.S. al-Hujarat/49 : 13 :


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Dzakar dan untsa menunjuk pada pengertian manusia yang berjenis kelamin laki-laki (dzakar) dan perempuan (untsa), sehingga jelas bahwa pasangan (zauj) yang dimaksud al-Qur’an adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sehingga orang yang mempasangkan dirinya dengan sesama jenis, baik laki-laki dengan laki-laki (homoseksual) maupun perempuan dengan perempuan (lesbian), maka tindakan tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Kemudian secara jelas fitrah ini yang sejalan dengan sunnatullah akan tetap berlangsung dan tidak akan terjadi perubahan sampai hari kiamat. Hal ini dinyatakan Allah dalam Q.S. al-Fathir/35 : 43 :

اسْتِكْبَارًا فِي الأرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا سُنَّةَ الأوَّلِينَ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلا


Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual maupun lesbian adalah bentuk perilaku seksual menyimpang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Hubungan seks dalam Islam tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu (prokreasi), akan tetapi memiliki tujuan penting menyangkut kelangsungan kehidupan, yaitu melanjutkan keturunan (reproduksi). Hubungan seks sejenis tidak mungkin akan menghasilkan keturunan, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan hubungan seks dalam Islam.

Karena penyimpangan itu, maka dalam Hadis Nabi terdapat beberapa Hadis yang mengutuk dan memberi hukuman dengan tegas bagi orang yang melakukan homoseksual/lesbian. Seperti dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah, melalaui Ibn Abbas Rasulullah bersabda:
من وجد تموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفعل والمفعول به
Juga dalam Hadis riwayat Abu Daud yang bersumber dari Sa’id Ibn Jubair dan Mujahid dari Ibn Abbas tentang kasus seorang anak perawan yang kedapatan melakukan praktek lesbian (اللوطية), maka ia harus dihukum rajam.

2. Agama Kristen

Perlu diingat, sikap keras melaknat itu bukan hanya pada Islam. Namun juga pada agama Kristen.
Praktik homoseksual juga menjadi momok yang menakutkan di agama Kristen. Bibel menyebutnya sebagai ibadah kafir yang lazim dikenal dengan nama “pelacuran kudus”. Ia sangat mengutuk dan mengecam pelakunya karena itu bertentangan dengan moral.
Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27, Rasul Paulus mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang-orang kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus.
Dalam Imamat 20:13 berbunyi : ”Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”. Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati.

3. Secara dasar menurut Agama itu :

Meskipun hubungan antara homoseksualitas dan agama dapat sangat bervariasi sepanjang waktu dan di sejumlah tempat, di dalam dan antara berbagai agama dan sekte, dan berbagai bentuk homoseksualitas dan biseksualitas, badan otoritatif saat ini dan doktrin agama terbesar di dunia umumnya melihat homoseksualitas sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini dapat berkisar dari diam-diam menolak aktivitas homoseksual, hingga melarang praktik hubungan seksual sesama jenis antarumat secara eksplisit dan secara aktif menentang penerimaan sosial terhadap homoseksualitas. Beberapa pihak mengajarkan bahwa orientasi homoseksual itu sendiri adalah dosa,[184] sementara Gereja Katolik menegaskan bahwa hanya tindakan seksual yang berdosa.[185] Beberapa pihak mendaku bahwa homoseksualitas dapat disembuhkan melalui iman dan praktik keagamaan. Di sisi lain, terdapat suara-suara dari internal agama-agama ini yang memandang homoseksualitas lebih positif, bahkan denominasi agama yang liberal memungkinkan untuk memberkati pernikahan sesama jenis. Terdapat juga pihak yang memandang percintaan dan seksualitas sesama jenis sebagai sesuatu yang suci/sakral, dan mitologi cinta sesama jenis dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia. Terlepas dari pandangan mereka tentang homoseksualitas, banyak individu dari kalangan religius yang menjadikan kitab suci dan tradisi sebagai bimbingan untuk masalah ini.

Source : http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/11/pandangan-terhadap-kaum-homoseksual-dan-lesbian/
http://dhymas.wordpress.com/homoseksual-dan-lesbian-dalam-perspektif-fikih/

Diskriminatif Kawin sejenis


Baru-baru ini kota Banyumas dihebohkan oleh berdirinya Arus Pelangi Banyumas, sebuah organisasi yang menjadi wadah khusus kaum gay, lesbian, dan biseksual, serta transjender-transeksual (LGBT). Acara deklarasi Arus Pelangi cabang Banyumas dengan ketua Shandy ini ini dikukuhkan oleh Rido Triawan, Direktur Arus Pelangi Pusat.

Warga yang berasal dari sejumlah organisasi Islam serta para tokoh Muhamaddiyah dan NU di kota tersebut menolak keberadaannya karena dianggap melanggar norma agama dan pranata sosial. Sejumlah aktivis organisasi kepemudaan juga sempat mendesak pemerintah tidak mengeluarkan izin terhadap Arus Pelangi.
Tentu saja, keinginan untuk mendapatkan hak melakukan kawin sejenis ditentang oleh seluruh pemuka agama. KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, menganggapnya lebih buruk dari zina.
Mungkin karena menyadari posisinya yang sulit diterima oleh ormas Islam para pemuka agama, Arus Pelangi, demi memperjuangkan hak anggotanya melakukan perkawinan, mendesak agar dilakukan revisi terhadap UU Anti Diskrimansi. Menurutnya, perkawinan adalah bagian dari administrasi kenegaraan, bukan agama. Namun sewjumlah para pakar Hukum positif pun menolaknya, karena perkawinan tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari persoalan agama.
Terlepas dari kontroversi itu, benarkah tidak ada solusi hukum selain fatwa haram? Tidakkah perlu dilakukan klasifikasi yang komprehensif terhadap persoalan ini, misalnya antara yang menjadi waria karena faktor internal (bawaan, genetik, hormonal) dan waria karena faktor eksternal (akibat gaya hidup atau trauma pelecehan seskual dan lainnya) agar hukum agama tidak terkesan diskrimantif dan tidak akomodatif? Samakah gay, yang memang ingin berhubungan badan dengan sesama pria, dengan waria yang ingin diperlakukan sebagai wanita oleh pria? Samakah kecenderungan dengan hasrat seksual? Bagaimanakah kedudukan hukum agama terhadap ganti kelamin?
Mungkin sudah tiba saatnya, digagas sebuah fikih rasional dan kontekstual yang tetap mengedepankan ayat-ayat muhkamat dan ijtihad-ijtihad yang digali dari sumber-sumber utama Islam. Yang juga mungkin perlu dilakukan oleh para ulama, terutama yang berada dalam lembaga keulamaan, memperluas area eksplorasi terhadap sumber-sumber alternatif fikih, dengan misalnya, mempertimbangkan pendapat ulama-ulama dari kalangan non Sunni, seperti Syiah dan Zaidiyah, bahkan dari kalangan modernis. Perluasan area eksplorasi fikih ini tentu tidak serta merta mengubah pandangan fikih tradisional (salaf), apalagi yang bersifat prinsipal.
Pengayaan wawasan fikih bisa dilakukan melalui mekanisme dialog yang komprhensif yang dihadiri oleh seluruh pakar fikih semua mazhab.
Bagaimanapun, ide demikian tidak akan terealisir dan harapan akan terbitnya sebuah fikih yang adil akan kandas apabila fanatisme sektarian dan kecurigaan terhadap mazhab lain masih belum lenyap. Karenanya, langkah pertama yang harus diambil adalah membangun rasa saling percaya antar ulama mazhab Islam.
Secara teologis, pengubahan kelamin, tidak dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Tuhan, karena apapun yang terjadi dalam proses kemakhlukan di dunia ini, berada dalam koridor sistem penciptaan-Nya. Karena itulah, mengubah bentuk rambut, dengan memotongnya, tidak serta merta dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Allah.
Secara yurisprodensial, mengubah kelamin, bisa dianalisis sebagai sebuah tindakan yang tidak haram selama mengikuti kaidah-kaidah hukum syariat, seperti menempuh cara yang haram, menggunakan media dan alat yang haram, bertujuan untuk melakukan sesuatu yang haram, dan sejumlah kondisi dan persyaratan normatif yang telah disepakati. Apakah mengubah kelamin, tetap dianggap haram fair bila dilakukan seraya memperhatikan poin-poin penting diatas?
Kita semua yakin bahwa agama Tuhan yang lestari dan abadi ini tentu tidak hanya melarang seseorang melakukan hubungan seksual sejenis bagi orang yang memang merasa memiliki jiwa ‘perempuan’ yang terbungkus dalam batang raga ‘pria’. Bagaimana nasib sekelompok manusia yang tidak mendapat rezeki keserasian jiwa dan raga? Apakah orang-orang yang mengalami ‘musibah genetik’ ini harus bersabar untuk tidak memenuhi hasrat biologis seumur hidup, karena anggapan umum bahwa agama hanya punya satu vonis hukum yang final, haram?
Memang perkawinan antar sesama jenis dilarang oleh semua agama. Namun mengubah kelamin demi menghindari hubungan sesama jenis tidak semestinya diharamkan pula. Betapa banyak waria, yang memang secara genetik dan psikologis perempuan, ingin diperlakukan sebagai perempuan, bukan sebagai pria? Bila hubungan sesama jenis diharamkan dan ganti kelamin juga diharamkan, maka apakah agama tidak lagi berlaku bagi kelompok ini?
Mungkin dalam rangka eksplorasi hukum yang akomodatif itu, perlu dikaji tipologi waria, gay dan lesbian secara seksama. Misalnya waria, pria fisikal yang secara genetik dan psikologis perempuan juga wanita fisikal yang secara genetik dan psikologis pria, dibedakkan secara hukum dengan pria yang menjadi waria karena gaya hidup atau trauma, juga tidak sama secara hukum dengan gay, yaitu pria yang memang ingin berhubungan dengan pria, serta tidak diperlakukan sama dengan dengan lesbian murni yang memang hanya ingin berhubungan dengan wanita.
Ini perlu dilakukan oleh para para fikih demi mempertegas hukum Islam yang hanya hanya menerima pola hubungan heteroseksual. Artinya, dengan tetapkan mempertahankan keharaman kontak kelmin sejenis, mempertimbangkan kehalalan ganti kelamin dengan memperhatikan aspek genetik, hormonal dan psikologis dalam sebuah bingkai fikih, misalnya, kaidah hukum darurat.
Tentu, ini hanya sebuah hipotesa yang belum bisa dianggap sebagai solusi hukum apalagi fatwa. Yang jelas, hukum Islam pasti mampu mengatasi problema serumit apapun, karena ia agama yang tegak lurus (Dzalika-ddinul-qayyim). Sumber: majalah dwimingguan ADIL pb

Semoga bermanfaat... terima kasih atas kunjungannya ^_^





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menambahkan Club sendiri di PES 2013

Resensi Film Alexandria

Cara Edit Player dan Team di PES 2012